Minggu, 22 Agustus 2010

WACANA NGEBROK KERBAU DI KRAYAN

Kecamatan Krayan dengan luas wilayah 183.754 Km2 yang terdiri dari 65 desa memiliki potensi usahatani yang sangat besar. Dengan jumlah penduduk yang mayoritas petani organik menjadikan daerah ini memiliki karakteristik tersendiri dalam berusahatani. Daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah (Malaysia) ini adalah bagian dari Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. Dari segi pola kegiatan usahatani, Krayan lebih mengandalkan potensi sumberdaya alam ketimbang memanfaatkan teknologi moderen berusahatani. Hal ini dapat dilihat mulai dari sistim pembersihan lahan, penggarapan lahan yang menggunakan ternak sapi dan kerbau, hingga pengelolaan usahatani sawah yang bercirikan organik dengan memanfaatkan limbah kotoran ternak.
Jumlah populasi ternak, khususnya kerbau dan sapi, di Krayan terbilang cukup besar. Data yang dihimpun dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Nunukan Tahun 2008 menunjukkan bahwa populasi sapi potong dan kerbau mencapai 3.019 ekor. Ini belum termasuk ternak Babi dan unggas. Jika asumsi rata – rata sapi/kerbau bisa menghasilkan limbah 15 Kg setiap hari maka dalam sehari limbah organik yang dihasilkan di Krayan adalah 45.285 Kg. Limbah inilah yang digunakan oleh para petani Krayan dalam menunjang kegiatan usahatani padi sawah.
Masalah yang muncul kemudian karena pola tanam padi sawah di Krayan hanya sekali dalam setahun, mengikut musim penghujan. Padi sawah Krayan, yang sering disebut dengan Padi Adan merupakan potensi lokal spesifik dengan umur semai hingga panen mencai 6 bulan. Sehingga diluar masa tanam, sapi/kerbau dibiarkan berkeliaran mencari pakan sendiri di alam bebas. Ternak ini sering menjadi hama besar yang merusak tanaman usahatani lainnya yang dikelolah oleh masyarakat, seperti buah – buahan, sayuran dan palawija yang baru ditanam. Ini berimplikasi kepada hilangnya animo petani untuk menyelenggarakan kegiatan usahatani lain diluar padi sawah. Pada hal potensi agribisnis yang dimiliki Krayan sangat besar, ini mengingat letak tofografinya yang berada diatas ketinggian ± 500 – 750 mdpl, memungkinkan Krayan dapat mengembangkan berbagai jenis palawija dan hortikultura dataran sedang hingga tinggi.
Oleh karena itu maka dirasa perlu untuk mencari solusi alternatif agar kegiatan usaha tani dan usaha ternak dapat berjalan seiring tanpa saling mengganggu. Memang harus diakui bahwa tidak mudah mengubah paradigma berusahatani di Krayan. Hal ini disebabkan karena sistem adat yang berlaku belum terbiasa dengan pola kandangisasi ternak. Sehingga dibutuhkan pendekatan persuasif terhadap tokoh – tokoh adat dan masyarakat dalam menjelaskan masalah ini, mengingat peran mereka sangat besar dalam pengambilan kebijakan/keputusan di tengah masyarakat suku Lundayeh di Krayan. Perlu dijelaskan tentang sistem keterpaduan yang saling menunjang (simbiosa mutualisme) antara keberadaan ternak disatu sisi dengan kegiatan usahatani disisi yang lain. Bahwa kedua kegiatan ini ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Bahwa integritas tani – ternak akan memberikan hasil surplus dalam kegiatan perekonomian masyarakat secara umum, dan rumah tangga tani pada khususnya. Sehingga jargon hama yang melekat pada sapi dan kerbau diluar kegiatan padi sawah dapat berubah.
Kandang Ngebrok adalah istilah dalam bahasa Jawa, bahasa ini tetap dipertahankan karena masih terasa sulit untuk mencari padanan kata yang tepat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ngebrok artinya tinggal menetap ditempat dalam waktu yang cukup lama. Sehingga ternak dalam kurun waktu tertentu selamanya berada didalam kandang dari buang kotoran, makan, hingga tidur. Kandang ngebrok adalah kandang yang dihuni oleh ternak dengan tujuan agar limbah organik yang dihasilkan dapat terkumpul dan terurai secara alami akibat aktivitas ternak didalam kandang tersebut. Ternak dalam kandang akan berkubang dalam limbahnya sendiri, yang semakin lama akan semakin banyak dan bertambah, dan pada akhir priode tertentu ketika ternak dikeluarkan dari kandang tersebut maka limbah dapat diambil untuk dimanfaatkan dilahan persawahan.
Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru, Peternakan Sapi Perah di Lembah Hijau Multifarm (LHM) Research Centre Yogyakarta telah menerapkan cara ini. Sistem ngebrok ini diterapkan bagi pembesaran sapi sebelum menghasilkan atau dipungut susunya. Sehingga ternak disapih mulai bibit sapi anakan hingga menjelang dewasa. Wacana ngebrok sapi/kerbau ini menjadi menarik untuk dikembangkan di Krayan mengingat sumber pakan yang tersedia dan kontinyu serta jaraknya yang relatif dekat, akan lebih baik lagi bila disiapkan lahan khusus untuk sumber pakan hijauan makanan ternak atau Azolla. Disamping itu, sebagai inovasi dibidang usahatani ternak di Krayan, setidaknya akan menarik minat dan perhatian pemuka adat setempat akan pentingnya hal ini karena tidak saja memberikan surplus bagi perekonomian masyarakat tetapi juga membuka lapangan kerja baru bagi anggota masyarakat tani yang menganggur diluar musim tanam padi sawah. Agar sistem ini berjalan secara arif dan berkesinambungan maka idealnya kegiatan ini dikelolah oleh kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Hal ini mengingat sistem ngebrok kemungkinan akan menampung kerbau dan sapi dari berbagai pemilik.
Jika wacana ini berhasil dikembangkan di Krayan, maka beberapa keuntungan akan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, antara lain bangkitnya animo masyarakat untuk berusahatani diluar padi sawah karena ternak besar bukan lagi menjadi hama bagi pertanaman, pemeliharaan ternak akan menjadi lebih intensif sehingga pertumbuhannya semakin besar dan meningkatkan nilai ekonomi ternak itu sendiri, adanya pupuk kandang dalam jumlah yang besar sebagai akibat dari terkonsentrasinya limbah ternak dalam kandang, tenaga pemeliharaan dan pengawasan ternak menjadi lebih ringan, penggunaan air yang lebih hemat terlebih untuk beberapa daerah/desa di Krayan yang masih jauh dari pompanisasi air, devisitnya masalah sosial di tengah masyarakat akibat ternak yang tidak terpelihara dan mengganggu kegiatan usahatani lain masyarakat, dan dalam jangka waktu yang relatif lama Kecamatan Krayan akan menjadi sentra pengembangan dan produksi daging sapi/kerbau di Kabupaten Nunukan.
Hal lain yang tidak kalah penting artinya dengan adanya sistem ngebrok ini adalah didukung oleh faktor sosiokultural masyarakat setempat, maka Krayan maupun Krayan Selatan memiliki potensi agrowisata pada masa yang akan datang. Ini melengkapi eksistensi padi Adan yang selama ini digarap secara organik oleh masyarakat dengan cirinya spesifik daerah (lokal), di samping keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang merupakan bagian holistik dari kawasan Krayan.
Namun disadari bahwa beberapa kelemahan relatif dapat timbul dengan adanya sistem ini, diantaranya : pembuatan kandang yang cukup besar sehingga membutuhkan luasan lahan tertentu, biaya pembuatan kandang yang relatif mahal terlebih bila kandang dibuat permanen, biaya pengadaan bahan probiotik sebagai stimulan limbah organik yang dihasilkan oleh ternak dan biaya operasionalnya ke Krayan, letak kandang yang relatif harus jauh dari pemukiman, dan adanya resistensi dari pemuka adat setempat mengingat inovasi ini adalah hal baru bagi mereka.
Olehnya itu maka dibutuhkan peran serta pemerintah daerah, baik ditingkat kabupaten maupun provinsi, bila dianggap bahwa wacana ini akan dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Krayan. Dibutuhkan atensi pemerintah dalam hal pembiayaan dan pembinaan potensi sumberdaya manusia yang diharapkan dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Paling tidak, berpijak dari kegiatan di LHM Research Centre Yogyakarta, maka Kecamatan Krayan dapat dijadikan percontohan pola ngebrok kerbau bagi kecamatan lain di Kabupaten Nunukan maupun kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Timur.
------------------------
Disadur dari tulisan : Ngebrok Kerbau, karya : Ir. Dian Kusumanto.