Minggu, 12 Juni 2011

MANDAU, WARISAN BUDAYA SUKU DAYAK

Secara umum seluruh penduduk di kepulauan Nusantara disebut – sebut berasal dari Cina Selatan, demikian juga halnya dengan Suku Dayak. Tentang asal usul bangsa Dayak, diduga berasal dari imigrasi bangsa Cina, dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar – besaran (dalam kelompok – kelompok kecil) yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 3000 sampai 1500 SM. Sebagian dari mereka mengembara hingga Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia, dan sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.
Dayak adalah kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Pulau Borneo (Sarawak, Brunei, Sabah dan Kalimantan). Budaya masyarakat Dayak adalah budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti yang berhubungan dengan perhuluan atau sungai, terutama pada nama – nama rumpun dan keluargannya. Suku bangsa Dayak terdiri atas enam Stanmenras atau rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum – Ngaju dan rumpun Punan.
Senjata Mandau
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau memiliki ukiran – ukiran pada bagian bilahnya yang tidak tajam. Biasa dijumpai tambahan lubang – lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan/tembaga dengan maksud memperindah bilah Mandau. Pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan dibuat lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sebilah mandau terasa tidak lengkap tanpa adanya kumpang. Kumpang adalah sarung Mandau, terbuat dari kayu, dilapisi tanduk rusa, dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Selain itu, pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini sebagai penolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.
Dewasa ini telah banyak terbuat Mandau tiruan yang bahan baku pembuatannya biasa meng gunakan besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan dan besi batang lain. Piranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebasang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan. Juga digunakan penghembus udara bertenaga listrik untuk membarakan nyala limbah kayu ulin yang dipakai untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan kayu lainnya.
Fungsi Mandau
Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun – temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh - tumbuhan, atau benda – benda lainnya yang perlu untuk di potong.
Mandau harus disimpan dan dirawat dengan baik pada tempat khusus untuk penghormatan. Suku Dayak yakin bahwa mandau memiliki kekuatan spiritual yang mampu melindungi pemiliknya dari serangan atau niat jahat dari lawannya. Mandau juga diyakini dijaga oleh seorang perempuan, dan jika pemilik mandau tersebut bermimpi bertemu dengan perempuan yang menghuni mandau, berarti sang pemilik akan mendapatkan rejeki. Mandau asli mempunyai penyang, penyang adalah kumpulan ilmu suku dayak yang didapat dari hasil bertapa atau petunjuk lelulur yang digunakan untuk berperang. Penyang akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat dan kebal menghadapi musuh. Mandau dan penyang adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan turun temurun dari leluhur.
Warisan Budaya
Terlepas dari derasnya arus modernisasi dan perubahan yang menyertai derap pembangunan, kita dihadapkan pada persoalan mendasar yang berkisar pada masyarakat pelaku perubahan dan pelaku pembangunan itu sendiri. Ditengah laju pembangunan, kita dituntut untuk mengembangkan jati diri budaya kita di tengah – tengah arus perubahan dan modenisasi. Agar tidak kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa, maka kita dituntut untuk bisa mengendalikan arah dan arus perubahan yang terjadi di sekitar kita. Kita harus bisa mewujudkan peran sebagai subjek atau pelaku pembangunan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kegiatan pembangunan yang sedang kita laksanakan hendaknya memperhatikan faktor budaya, agar pembangunan itu tidak kehilangan nilai – nilai kemanusiaannya.
Kita tentu tidak mengingankan warisan budaya suku bangsa ini menjadi hilang atas nama pembangunan, atau bahkan dicuri orang (baca : diklaim) akibat dari ketidakpedulian kita kepada warisan leluhur bangsa ini. Mandau sebagai warisan budaya harus tetap terjaga kepemilikannya atas nama bangsa ini, sebuah warisan budaya yang bukan saja menjadi milik suku Dayak.

PALEO, BUDAYA TANI SUKU DAYAK LUNDAYE

Berusahatani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kebudayaan tertua di muka bumi. Sejak manusia meninggalkan gaya hidup nomaden yang berburu, kemudian mendomestikasi hewan dan tanaman liar, maka sejak itu kultur tani primitive mulai dikenal. Bukti – bukti peninggalan sejarah, baik berupa pacul, cangkul, tombak, dan beberapa alat pengolah tanah dari zaman awal sejarah menunjukkan manusia berusaha survive dalam hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam seoptimal mungkin bagi kelangsungan hidupnya. Dalam budaya masyarakat tani primitive, ada hubungan yang sangat erat antara manusia dan alam yang saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Pemahaman ini juga tidak terlepas dari budaya tani masyarakat Suku Dayak Lundaye di Kecamatan Krayan.
Adat istiadat masyarakat Adat Dayak di Kalimantan mengatakan tanah merupakan milik mereka yang paling berharga. Antara masyarakat dengan tanah dan Dunia Alam Atas terdapat suatu hubungan yang amat menyejarah. Tanah bagi Masyarakat Adat Dayak diyakini sebagai Rantai Penghubung antara generasi masyarakat Dayak di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Salah satu kategori/wilayah hutan yang berlaku dalam Masyarakat Adat Dayak adalah Simpukng Ramuuq, yaitu kawasan hutan yang disediakan untuk mengambil hasil hutan yang diperlukan untuk keperluan kampung, dimana status penguasaan dan pemilikannya bersifat kolektif.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang – orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Dalam kehidupan sosial suku Dayak dikenal semboyan Menteng Ueh Mamut, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Karakteristik sosial budaya di wilayah binaan Kecamatan Krayan dapat dilihat dari aspek mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar sangat tergantung pada kondisi alam, khususnya bertani atau berladang. Secara umum pekerjaan masyarakat bervariasi, antara lain : berladang/bertani, umumnya berupa menanam padi sawah tadah hujan, singkong beberapa tanaman lainnya; menebang kayu, biasa dilakukan masyarakat tani yang berlokasi di sekitar areal hutan dan dilakukan secara berkelompok (3 – 6 orang setiap kelompoknya); berburu, merupakan mata pencaharian utama, untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan hanya sebagian kecil yang menjualnya.
Penduduk asli wilayah binaan adalah suku Dayak Lundaye menempati sebagian besar wilayah binaan hingga ke perbatasan Malaysia. Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan wilayah Kecamatan Krayan dihuni manusia. Namun hasil penelusuran sejarah orang – orang tua di Krayan diperkirakan bahwa Krayan dihuni manusia sejak 300 tahun yang lalu. Sejarah tentang asal usul suku Dayak sendiri berawal dari kedatangan penduduk dari Yunan (sebelah Selatan Gurun Gobi, Cina) yang mendarat di sebelah Barat dan Timur Pulau Kalimantan, mengakibatkan terdesaknya masyarakat Melayu Tua ke pedalaman Pulau Kalimantan. Penduduk yang menyebar di pedalaman/pegunungan Kalimantan merupakan penduduk asli Kalimantan, karena bermukim jauh di pedalaman/pegunungan maka disebut orang Darat atau Daye, dan seterusnya terkenal dengan Dayak. Di wilayah Kabupaten Nunukan antara lain terdapat suku Dayak Tagel dan Berusu di Kecamatan Lumbis, Lundaye di Long Bawan, Kecamatan Krayan, serta Tenggalan/Agabag di Sungai Tulid dan Sungai Tikung, Kecamatan Nunukan.
Paleo, Budaya Tani Dayak Lundaye
Kebiasaan adat masyarakat di Krayan adalah gotong royong dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Kegiatan gotong royong, yang dalam bahasa setempat disebut paleo, seringkali dilakukan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan berusahatani. Kegiatan ini sudah berlangsung lama, dimana seseorang yang tergabung dalam suatu kelompok mengajak anggota kelompok lainnya untuk bersama – sama menggarap lahan anggota kelompok tersebut. Jika lahan tersebut usai digarap maka mereka berpindah ke lahan milik anggota lainnya.
Paleo nibu pade adalah suatu kegiatan gotong royong dalam menanam padi, dimana kegiatan sebelumnya didahului oleh paleo meledek, yaitu kegiatan membersihkan sawah sebelum ditanami. Dalam kegiatan paleo meledek, sawah dibersihkan dari gulma dan jerami bekas pertanaman yang lalu dengan cara bergotong royong. Selama proses pembersihan dari gulma ini, benih padi disemaikan, yang sebelumnya benih tersebut dibawa ke gereja untuk diberkati. Tujuannya agar hasil panen dapat meningkat dan pertanaman aman dari gangguan hama/penyakit tanaman. Acara pemberkatan benih ini disebut pade fra.
Dalam proses perawatan padi sawah, seringkali terserang hama tikus, dalam hal ini dilakukan acara ngelabo labo atau gropyokan terhadap hama tikus. Acara gropyokan hama tikus ini biasa juga dilakukan sebelum penanaman padi. Disamping hama tikus, burung juga biasa merusak pertanaman. Pengendalian burung keruak yang biasa merusak pertanaman dilakukan dengan ngelabo keruak.
Jika waktu panen telah tiba, maka dilakukan acara ngerupen. Seperti paleo nibu pade, acara ini juga dilakukan secara bergotong – royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Acara ngerupen ini biasanya disertai dengan pemotongan ternak kerbau atau babi. Tujuannya disamping memberi makan petani yang telah membantu memanen, juga sebagai wujud suka cita karena telah berhasil menuai padi.
Disamping acara – acara tersebut yang dilaksanakan dalam kegiatan usahatani, masyarakat suku Lundaye di Kecamatan Krayan masih terdapat ucapara adat lainnya seperti Nyupai Semaring, Nui Ulung, tarian Parisanan, dan Beritubang. Keseluruhan produk budaya ini tidak saja memperkaya khasanah kebudayaan nasional, tetapi juga memberikan pencitraan kepada kita betapa leluhur bangsa ini telah menjadikan bertani sebagai bagian dari kebudayaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan.

PA’ REMAYO, AIR TERJUN BERTERAS DI KAYAN MENTARANG

Kecamatan Krayan merupakan wilayah paling utara di Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah (Malaysia). Kecamatan ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Nunukan, dengan luas wilayah 183.754 Km2 dimana mayoritas penduduk bermatapencarian sebagai petani padi sawah. Disamping sistem budaya (sociocultural) yang masih melekat erat di tengah masyarakat Suku Dayak Lundayeh, merupakan paduan dinamis antara budaya adat Dayak dan etika Kristen, menjadi daya tarik tersendiri bagi Krayan.
Mayoritas masyarakat Krayan adalah suku dayak etnis Lundaye, yang tersebar dalam empat wilayah adat, yaitu Krayan Hilir, Krayan Darat, Krayan Hulu dan Krayan Tengah. Kehidupan warga nya relative tradisional. Selain berladang/bercocok tanam, mereka juga berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari – hari. Kehidupan ekonomi masyarakat tergolong sederhana, meski kebutuhan pangan seperti beras cukup tersedia. Beberapa produk budaya seperti tarian, cara bertani, tempayan, dan aneka jenis perabotan masih menampakkan warna budaya suku dayak Lundaye. Daerah ini memiliki daya tarik tersendiri mengingat potensi alamnya yang khas, yang dicirikan dengan sistem pertaniannya yang organik dan bertumpu kepada sumberdaya alam. Hal ini masih ditambah lagi dengan kehadiran Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, yang menampung keanekaragaman hayati dari berbagai spesies flora dan fauna khas Kalimantan.
Taman Nasional Kayan Mentarang yang luasnya 1.360.500 hektar, adalah satu kesatuan kawasan hutan primer dan hutan sekunder tua yang terbesar dan masih tersisa di daerah Kalimantan dan di wilayah Asia Tenggara. Taman nasional ini memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa bernilai tinggi baik jenis langka maupun dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem dari hutan hujan dataran rendah sampai hutan berlumut di pegunungan tinggi. Keanekaragaman hayati yang terkandung di Taman Nasional Kayan Mentarang diantaranya pulai (Alstonia scholaris), jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), Agathis (Agathis borneensis), kayu ulin (Eusidero xylon zwageri), rengas (Gluta wallichii), gaharu (Aquilaria malacensis), aren (Arenga pinnata), juga berbagai jenis anggrek, palem, dan kantong semar. Selain itu, ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dapat diidentifikasi karena merupakan jenis tumbuhan baru di Indonesia.
Selain aneka jenis flora – fauna, di areal Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) juga ada berbagai obyek wisata alam, diantaranya air terjun bertingkat Pa’ Remayo di daerah Krayan Hilir. Pa’ Remayo adalah salah satu obyek wisata yang sangat indah dalam kawasan TNKM, sebab tidak saja mengandung keanekaragaman flora, diantaranya anggrek hitam (Coelogyne pandurata), pakis, rotan, kayu agathis dan aneka jenis tumbuhan obat seperti pasak bumi dan tumbuhan penawar racun yang oleh masyarakat setempat disebut temawar, tetapi juga berbagai spesies burung dan mamalia khas Kalimantan, seperti monyet, babi hutan, landak, rusa, dan lebah madu hutan sehingga daerah ini sangat sesuai dijadikan obyek wisata ekologi (ecotourism) atau wana wisata (hutan wisata). Air terjun adalah formasi geologi dari arus air yang mengalir melalui suatu formasi bebatuan yang mengalami erosi dan jatuh dari ketinggian. Beberapa air terjun yang terbentuk di lingkungan pegunungan dimana erosi kerap terjadi.
Sebagai daerah yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Krayan memiliki potensi alam yang berprospek cerah pada segala bidang. Potensi inilah yang nantinya dimanfaatkan sebagai kunci alternatif strategi perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati. Salah satunya yaitu untuk dikembangkan sebagai obyek penunjang pariwisata regional. Dunia pariwisata menjadi sangat penting karena merupakan salah satu komoditas unggulan daerah dalam menunjang pergerakan perekonomian di tingkat bawah, baik skala daerah maupun nasional. Selain mampu memberi income langsung kepada pemda setempat, sektor pariwisata secara langsung/tak langsung memberi imbas pada pergerakan aktivitas ekonomi masyarakat, terutama di sekitar kawasan obyek wisata. Saat ini pola kepariwisataan domestik mulai banyak melirik pada obyek wisata yang menawarkan khasanah keindahan alam yang jauh dari kebisingan kota dan berkesan natural namun tetap menunjukan nilai nilai pelestarian ekologis. Dalam hal ini air terjun Pa’ Remayo memiliki potensi tersebut. Oleh karena itu, kepariwisataan alam kemudian berkembang munuju pola wisata ekologis yang sering disebut sebagai ecotourism dan wisata minat khusus atau special interest tourism. Kedua pola wisata ini dinilai menjamin tetap terpeliharanya keberadaan obyek dan daya tarik wisata alam pada khususnya.
Terlebih lagi dengan hadirnya anggrek hitam dalam kawasan tersebut sebagai spesies yang dilindungi dari kepunahan. Maka salah satu tujuan program alternatif dalam mengembangkan pola wisata ekologis (ecotourism) adalah kegiatan perlindungan anggrek alam sebagai organisme yang terancam punah dan habitat anggrek hitam. Hadirnya Pa’ Remayo sebagai ecotourism disini lebih menitikberatkan pada solusi untuk program regenerasi dan rehabilitasi anggrek alam dalam upaya mendukung konservasi anggrek secara langsung.
Disamping itu guna menjaga keberlangsungan populasi anggrek hitam, yang merupakan kebanggaan Kalimantan ini, maka masyarakat lokal harus dilibatkan. Pengembangan keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi anggrek ini akan menjadi kelompok yang mandiri dalam pengelolaan pelestarian anggrek diwilayahnya. Anggrek alam ini nantinya dikembangkan melalui proses budidaya untuk menjadi komoditas unggulan dalam paket wisata ekologis.
Saat ini air terjun Pa’ Remayo selain dimanfaatkan oleh masyarakat Krayan sebagai tujuan wisata di hari libur, juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Hampir setiap hari libur masyarakat Krayan, maupun luar Krayan, datang melepas lelah dan ketegangan setelah sekian hari bekerja. Potensi yang dimiliki oleh air terjun ini sedemikian besar peluangnya untuk memberikan keuntungan ekonomi dan social – budaya bagi masyarakat Krayan.