Minggu, 12 Juni 2011

PALEO, BUDAYA TANI SUKU DAYAK LUNDAYE

Berusahatani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk kebudayaan tertua di muka bumi. Sejak manusia meninggalkan gaya hidup nomaden yang berburu, kemudian mendomestikasi hewan dan tanaman liar, maka sejak itu kultur tani primitive mulai dikenal. Bukti – bukti peninggalan sejarah, baik berupa pacul, cangkul, tombak, dan beberapa alat pengolah tanah dari zaman awal sejarah menunjukkan manusia berusaha survive dalam hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam seoptimal mungkin bagi kelangsungan hidupnya. Dalam budaya masyarakat tani primitive, ada hubungan yang sangat erat antara manusia dan alam yang saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Pemahaman ini juga tidak terlepas dari budaya tani masyarakat Suku Dayak Lundaye di Kecamatan Krayan.
Adat istiadat masyarakat Adat Dayak di Kalimantan mengatakan tanah merupakan milik mereka yang paling berharga. Antara masyarakat dengan tanah dan Dunia Alam Atas terdapat suatu hubungan yang amat menyejarah. Tanah bagi Masyarakat Adat Dayak diyakini sebagai Rantai Penghubung antara generasi masyarakat Dayak di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Salah satu kategori/wilayah hutan yang berlaku dalam Masyarakat Adat Dayak adalah Simpukng Ramuuq, yaitu kawasan hutan yang disediakan untuk mengambil hasil hutan yang diperlukan untuk keperluan kampung, dimana status penguasaan dan pemilikannya bersifat kolektif.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang – orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Dalam kehidupan sosial suku Dayak dikenal semboyan Menteng Ueh Mamut, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Karakteristik sosial budaya di wilayah binaan Kecamatan Krayan dapat dilihat dari aspek mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar sangat tergantung pada kondisi alam, khususnya bertani atau berladang. Secara umum pekerjaan masyarakat bervariasi, antara lain : berladang/bertani, umumnya berupa menanam padi sawah tadah hujan, singkong beberapa tanaman lainnya; menebang kayu, biasa dilakukan masyarakat tani yang berlokasi di sekitar areal hutan dan dilakukan secara berkelompok (3 – 6 orang setiap kelompoknya); berburu, merupakan mata pencaharian utama, untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan hanya sebagian kecil yang menjualnya.
Penduduk asli wilayah binaan adalah suku Dayak Lundaye menempati sebagian besar wilayah binaan hingga ke perbatasan Malaysia. Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan wilayah Kecamatan Krayan dihuni manusia. Namun hasil penelusuran sejarah orang – orang tua di Krayan diperkirakan bahwa Krayan dihuni manusia sejak 300 tahun yang lalu. Sejarah tentang asal usul suku Dayak sendiri berawal dari kedatangan penduduk dari Yunan (sebelah Selatan Gurun Gobi, Cina) yang mendarat di sebelah Barat dan Timur Pulau Kalimantan, mengakibatkan terdesaknya masyarakat Melayu Tua ke pedalaman Pulau Kalimantan. Penduduk yang menyebar di pedalaman/pegunungan Kalimantan merupakan penduduk asli Kalimantan, karena bermukim jauh di pedalaman/pegunungan maka disebut orang Darat atau Daye, dan seterusnya terkenal dengan Dayak. Di wilayah Kabupaten Nunukan antara lain terdapat suku Dayak Tagel dan Berusu di Kecamatan Lumbis, Lundaye di Long Bawan, Kecamatan Krayan, serta Tenggalan/Agabag di Sungai Tulid dan Sungai Tikung, Kecamatan Nunukan.
Paleo, Budaya Tani Dayak Lundaye
Kebiasaan adat masyarakat di Krayan adalah gotong royong dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Kegiatan gotong royong, yang dalam bahasa setempat disebut paleo, seringkali dilakukan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan berusahatani. Kegiatan ini sudah berlangsung lama, dimana seseorang yang tergabung dalam suatu kelompok mengajak anggota kelompok lainnya untuk bersama – sama menggarap lahan anggota kelompok tersebut. Jika lahan tersebut usai digarap maka mereka berpindah ke lahan milik anggota lainnya.
Paleo nibu pade adalah suatu kegiatan gotong royong dalam menanam padi, dimana kegiatan sebelumnya didahului oleh paleo meledek, yaitu kegiatan membersihkan sawah sebelum ditanami. Dalam kegiatan paleo meledek, sawah dibersihkan dari gulma dan jerami bekas pertanaman yang lalu dengan cara bergotong royong. Selama proses pembersihan dari gulma ini, benih padi disemaikan, yang sebelumnya benih tersebut dibawa ke gereja untuk diberkati. Tujuannya agar hasil panen dapat meningkat dan pertanaman aman dari gangguan hama/penyakit tanaman. Acara pemberkatan benih ini disebut pade fra.
Dalam proses perawatan padi sawah, seringkali terserang hama tikus, dalam hal ini dilakukan acara ngelabo labo atau gropyokan terhadap hama tikus. Acara gropyokan hama tikus ini biasa juga dilakukan sebelum penanaman padi. Disamping hama tikus, burung juga biasa merusak pertanaman. Pengendalian burung keruak yang biasa merusak pertanaman dilakukan dengan ngelabo keruak.
Jika waktu panen telah tiba, maka dilakukan acara ngerupen. Seperti paleo nibu pade, acara ini juga dilakukan secara bergotong – royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Acara ngerupen ini biasanya disertai dengan pemotongan ternak kerbau atau babi. Tujuannya disamping memberi makan petani yang telah membantu memanen, juga sebagai wujud suka cita karena telah berhasil menuai padi.
Disamping acara – acara tersebut yang dilaksanakan dalam kegiatan usahatani, masyarakat suku Lundaye di Kecamatan Krayan masih terdapat ucapara adat lainnya seperti Nyupai Semaring, Nui Ulung, tarian Parisanan, dan Beritubang. Keseluruhan produk budaya ini tidak saja memperkaya khasanah kebudayaan nasional, tetapi juga memberikan pencitraan kepada kita betapa leluhur bangsa ini telah menjadikan bertani sebagai bagian dari kebudayaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan.